Kamis, Juni 23, 2005

KISAH POHON APEL
Suatu ketika, hiduplah sebatang pohon apel besar dan
anak lelaki yang senang bermain-main di bawah pohon
apel itu setiap hari.

Ia senang memanjatnya hingga ke pucuk pohon, memakan
buahnya, tidur-tiduran di keteduhan rindang
daun-daunnya.

Anak lelaki itu sangat mencintai pohon apel itu.

Demikian pula pohon apel sangat mencintai anak kecil
itu.

Waktu terus berlalu.

Anak lelaki itu kini telah tumbuh besar dan tidak
lagi bermain-main dengan pohon apel itu setiap
harinya.

Suatu hari ia mendatangi pohon apel.

Wajahnya tampak sedih.

"Ayo ke sini bermain-main lagi denganku," pinta
pohon apel itu.

"Aku bukan anak kecil yang bermain-main dengan pohon
lagi," jawab anak lelaki itu.

"A! ku ingin sekali memiliki mainan, tapi aku tak
punya uang untuk membelinya."

Pohon apel itu menyahut, "Duh, maaf aku pun tak
punya uang... tetapi kau boleh mengambil semua buah
apelku dan menjualnya. Kau bisa mendapatkan uang
untuk membeli mainan kegemaranmu."

Anak lelaki itu sangat senang. Ia lalu memetik semua
buah apel yang ada di pohon dan pergi dengan penuh
suka cita.

Namun, setelah itu anak lelaki tak pernah datang
lagi. Pohon apel itu kembali sedih.


Suatu hari anak lelaki itu datang lagi.

Pohon apel sangat senang melihatnya datang.

"Ayo bermain-main denganku lagi," kata pohon apel.

"Aku tak punya waktu," jawab anak lelaki itu.

"Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami
membutuhkan rumah untuk tempat tinggal. Maukah kau
menolongku?"

"Duh, maaf a! ku pun tak memiliki rumah. Tapi kau
boleh menebang semua dahan rantingku untuk membangun
rumahmu," kata pohon apel.

Kemudian anak lelaki itu menebang semua dahan dan
ranting pohon apel itu dan pergi dengan gembira.



Pohon apel itu juga merasa bahagia melihat anak
lelaki itu senang, tapi anak lelaki itu tak pernah
kembali lagi.

Pohon apel itu merasa kesepian dan sedih.

Pada suatu musim panas, anak lelaki itu datang lagi.

Pohon apel merasa sangat bersuka cita menyambutnya.

"Ayo bermain-main lagi deganku," kata pohon apel.

"Aku sedih," kata anak lelaki itu.

"Aku sudah tua dan ingin hidup tenang. Aku ingin
pergi berlibur dan berlayar. Maukah kau memberi aku
sebuah kapal untuk pesiar?"

"Duh, maaf aku tak punya kapal, tapi kau boleh
memotong batang tub! uhku dan menggunakannya untuk
membuat kapal yang kau mau. Pergilah berlayar dan
bersenang-senanglah."

Kemudian, anak lelaki itu memotong batang pohon apel
itu dan membuat kapal yang diidamkannya.

Ia lalu pergi berlayar dan tak pernah lagi datang
menemui pohon apel itu.


Akhirnya, anak lelaki itu datang lagi setelah
bertahun-tahun kemudian.

"Maaf anakku," kata pohon apel itu. "Aku sudah tak
memiliki buah apel lagi untukmu."

"Tak apa. Aku pun sudah tak memiliki gigi untuk
mengigit buah apelmu,"

jawab anak lelaki itu.

"Aku juga tak memiliki batang dan dahan yang bisa
kau panjat," kata pohon apel.

"Sekarang, aku sudah terlalu tua untuk itu," jawab
anak lelaki itu.

"Aku benar-benar tak memiliki apa-apa lagi yang bisa
aku berikan padamu.
Yang tersisa hanyalah

akar-akarku yang sudah tua dan sekarat ini," kata
pohon apel itu sambil menitikkan air mata.

"Aku tak memerlukan apa-apa lagi sekarang," kata
anak lelaki.

"Aku hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat.
Aku sangat lelah setelah sekian lama
meninggalkanmu."

"Oooh, bagus sekali. Tahukah kau, akar-akar pohon
tua adalah tempat terbaik untuk berbaring dan
beristirahat. Mari, marilah berbaring di pelukan
akar-akarku dan beristirahatlah dengan tenang."

Anak lelaki itu berbaring di pelukan akar-akar
pohon.

Pohon apel itu sangat gembira dan tersenyum sambil
meneteskan air matanya.



Ini adalah cerita tentang kita semua.

Pohon apel itu adalah orang tua kita.

Ketika kita muda, kita senang bermain-main dengan
ayah ! dan ibu kita.

Ketika kita tumbuh besar, kita meninggalkan mereka,
dan hanya datang ketika kita memerlukan sesuatu atau
dalam kesulitan.

Tak peduli apa pun, orang tua kita akan selalu ada
di sana untuk memberikan apa yang bisa mereka
berikan untuk membuat kita bahagia.

Anda mungkin berpikir bahwa anak lelaki itu telah
bertindak sangat kasar pada pohon itu, tetapi
begitulah cara kita memperlakukan orang tua kita.

Dan, yang terpenting: cintailah orang tua kita.

Sampaikan pada orang tua kita sekarang, betapa kita
mencintainya; dan berterima kasih atas seluruh hidup
yang telah dan akan diberikannya pada kita.



Teruntuk Mama Dan Bapak, Maafkan anak mu ini yang lebih banyak menuntut dibandingkan berbakti kepada kalia. Maaf yach....

Tidak ada komentar: