Rabu, Mei 24, 2006

KISAH SYIFA kecil

Ini cerita tentang syifa, seorang gadis kecil yang ceria berusia Lima tahun. Pada suatu sore, Syifa menemani Ibunya berbelanja di suatu supermarket. Ketika sedang menunggu giliran membayar, Syifa melihat sebentuk kalung mutiara mungil berwarna putih berkilauan, tergantung dalam sebuah kotak berwarna pink yang sangat cantik. Kalung itu nampak begitu indah, sehingga Syifa sangat ingin memilikinya. Tapi... Dia tahu, pasti Ibunya akan berkeberatan. Seperti biasanya, sebelum berangkat ke supermarket dia sudah berjanji tidak akan meminta apapun selain yang sudah disetujui untuk dibeli.
Dan tadi Ibunya sudah menyetujui untuk membelikannya kaos kaki ber-renda yang cantik. Namun karena kalung itu sangat indah, diberanikannya bertanya. "Ibu, bolehkah Syifa memiliki kalung ini ? Ibu boleh kembalikan kaos kaki yang tadi... " Sang Bunda segera mengambil kotak kalung dari tangan Syifa. Dibaliknya tertera harga Rp 15,000.
Dilihatnya mata Syifa yang memandangnya dengan penuh harap dan cemas.Sebenarnya dia bisa saja langsung membelikan kalung itu, namun ia tak mau bersikap tidak konsisten... "Oke ... Syifa, kamu boleh memiliki Kalung ini. Tapi kembalikan kaos kaki yang kau pilih tadi. Dan karena harga kalung ini lebih mahal dari kaos kaki itu,Ibu akan potong uang tabunganmu untuk minggu depan. Setuju ?" Syifa mengangguk lega, dan segera berlari riang mengembalikan kaos kaki ke raknya. "Terimakasih..., Ibu" Syifa sangat menyukai dan menyayangi kalung mutiaranya. Menurutnya, kalung itu membuatnya nampak cantik dan dewasa. Dia merasa secantik Ibunya. Kalung itu tak pernah lepas dari lehernya, bahkan ketika tidur.Kalung itu hanya dilepasnya jika dia mandi atau berenang. Sebab,kata ibunya, jika basah, kalung itu akan rusak, dan membuat lehernya menjadi hijau...

Setiap malam sebelum tidur, ayah Syifa membacakan cerita pengantar tidur. Pada suatu malam, ketika selesai membacakan sebuah cerita, Ayah bertanya "Syifa..., Syifa sayang Enggak sama Ayah ?" "Tentu dong... Ayah pasti tahu kalau Syifa sayang Ayah !"
"Kalau begitu, berikan kepada Ayah kalung mutiaramu..."Yah..., jangan dong Ayah ! Ayah boleh ambil "si Ratu" boneka kuda dari nenek... ! Itu kesayanganku juga "Ya sudahlah sayang,... ngga apa-apa !". Ayah mencium pipi Syifa sebelum keluar dari kamar Syifa. Kira-kira seminggu berikutnya, setelah selesai membacakan cerita, Ayah bertanya lagi, "Syifa..., Syifa sayang nggak sih, sama Ayah?"

"Ayah, Ayah tahu bukan kalau Syifa sayang sekali pada Ayah?"."Kalau begitu, berikan pada Ayah Kalung mutiaramu."
"Jangan Ayah... Tapi kalau Ayah mau, Ayah boleh ambil boneka Barbie ini.."Kata Syifa seraya menyerahkan boneka Barbie yang selalu menemaninya bermain.

Beberapa malam kemudian, ketika Ayah masuk ke kamarnya, Syifa sedang duduk di atas tempat tidurnya. Ketika didekati, Syifa rupanya sedang menangis diam-diam. Kedua tangannya tergenggam di atas pangkuan. air mata membasahi pipinya..."Ada apa Syifa,
kenapa Syifa ?"

Tanpa berucap sepatah pun, Syifa membuka tangan-nya. Di dalamnya melingkar cantik kalung mutiara kesayangannya " Kalau Ayah mau...ambillah kalung Syifa" Ayah
tersenyum mengerti, diambilnya kalung itu dari tangan mungil Syifa. Kalung itu dimasukkan ke dalam kantong celana. Dan dari kantong yang satunya, dikeluarkan
sebentuk kalung mutiara putih...sama cantiknya dengan kalung yang sangat disayangi Syifa..."Syifa... ini untuk Syifa. Sama bukan ? Memang begitu nampaknya,
tapi kalung ini tidak akan membuat lehermu menjadi hijau"


Ya..., ternyata Ayah memberikan kalung mutiara asli untuk menggantikan kalung mutiara imitasi Syifa.


Demikian pula halnya dengan Allah S.W.T. terkadang Dia meminta sesuatu dari kita, karena Dia berkenan untuk menggantikannya dengan yang lebih baik. Namun, kadang-kadang kita seperti atau bahkan lebih naif dari Syifa : Menggenggam erat sesuatu yang kita anggap amat berharga, dan oleh karenanya tidak ikhlas bila
harus kehilangan. Untuk itulah perlunya sikap ikhlas, karena kita yakin tidak akan Allah mengambil sesuatu dari kita jika tidak akan menggantinya dengan yang lebih baik.

Jumat, Mei 12, 2006

Derita Sakarotul Maut Karena Ibu

Di zaman Rasulullah ada seorang pemuda yang bernama Alqomah, ia sangat rajin beribadat. Suatu hari ia tiba-tiba jatuh sakit yang sangat kuat, maka isterinya menyuruh orang memanggil Rasulullah dan

mengatakan suaminya sakit kuat dan dalam masa sakaratul maut.
Apabila berita ini sampai kepada Rasulullah, maka Rasulullah menyuruh Bilal r.a, Ali r.a, Salamam r.a dan Ammar r.a supaya pergi melihat keadaan Alqomah. Apabila mereka sampai ke rumah Alqomah, mereka terus mendapatkan Alqomah sambil membantunya membacakan kalimah La-ilaa-ha-illallah, tetapi lidah Alqomah tidak dapat menyebutnya.


Ketika para sahabat mendapati bahawa Alqomah pasti akan mati, maka mereka menyuruh Bilal r.a supaya memberitahu Rasulullah tentang keadaan Alqomah. Apabila Bilal sampai dirumah Rasulullah, maka bilal menceritakan segala hal yang berlaku kepada Alqomah. Lalu Rasulullah bertanya kepada Bilal; "Wahai Bilal apakah ayah Alqomah masih hidup?" jawab Bilal r.a, " Tidak, ayahnya sudah meninggal, tetapi ibunya masih hidup dan sangat tua usianya". Kemudian Rasulullah s.a.w. berkata kepada Bilal;
"Pergilah kamu kepada ibunya dan sampaikan salamku, dan katakan kepadanya kalau dia dapat berjalan, suruh dia datang berjumpaku, kalau dia tidak dapat berjalan katakan aku akan kerumahnya".

Maka apabila Bilal sampai kerumah ibu Alqomah, lalu ia berkata seperti yang Rasulullah kata kepadanya, maka berkata ibu Alqomah; " Aku lebih patut pergi berjumpa Rasulullah". Lalu ibu Alqomah mengangkat tongkat dan terus berjalan menuju ke rumah Rasulullah. Maka bertanya Nabi s.a.w. kepada ibu Alqomah; "Terangkan kepada ku perkara yang sebenar tentang Alqomah, jika kamu berdusta nescaya akan turun wahyu kepadaku". Berkata Nabi lagi; "Bagaimana keadaan Alqomah?", jawab ibunya; "Ia sangat rajin beribadat, ia sembahyang, berpuasa dan sangat suka bersedekah sebanyak-banyaknya sehingga tidak diketahui banyaknya".

Bertanya Rasulullah; "Bagaimana hubungan kamu dengan dia?", jawab ibunya; " Aku murka kepadanya", lalu Rasulullah bertanya;

"Mengapa", jawab ibunya; "Kerana ia patut mengutamakan aku dari isterinya, dan menurut kata-kata isterinya sehingga ia menentangku".

Maka berkata Rasulullah; "Murka kamu itulah yang telah mengunci lidahnya dari mengucap La iilaa ha illallah", kemudian Nabi s.a.w menyuruh Bilal mencari kayu api untuk membakar Alqomah. Apabila ibu Alqomah mendengar perintah Rasulullah lalu ia bertanya; "Wahai Rasulullah, kamu hendak membakar putera ku didepan mataku?, bagaimana hatiku dapat menerimanya". Kemudian berkata Nabi s.a.w; "Wahai ibu Alqomah, siksa Allah itu lebih berat dan kekal, oleh itu jika kamu mahu Allah mengampunkan dosa anakmu itu, maka hendaklah kamu mengampuninya", demi Allah yang jiwaku ditangannya, tidak akan guna sembahyangnya, sedekahnya, selagi kamu murka kepadanya". Maka berkata ibu Alqomah sambil mengangkat kedua tangannya; "Ya Rasulullah, aku persaksikan kepada Allah dilangit dan kau Ya Rasulullah dan mereka-mereka yang hadir disini bahawa aku redha pada anakku Alqomah".

Maka Rasulullah mengarahkan Bilal pergi melihat Alqomah sambil berkata; "Pergilah kamu wahai Bilal, lihat sama ada Alqomah dapat mengucapkan La iilaa ha illallah atau tidak". Berkata Rasulullah lagi kepada Bilal ; "Aku khuatir kalau kalau ibu Alqomah mengucapkan itu semata-mata kerana pada aku dan bukan dari hatinya". Maka apabila Bilal sampai di rumah Alqomah tiba-tiba terdengar suara Alqomah menyebut; "La iilaa ha illallah". Lalu Bilal masuk sambil berkata; "Wahai semua orang yang berada disini, ketahuilah sesungguhnya murka ibunya telah menghalang Alqomah dari dapat mengucapkan kalimah La iila ha illallah, kerana redha ibunyalah maka Alqomah dapat menyebut kalimah syahadat". Maka matilah Alqomah pada waktu sebaik saja dia mengucap.

Maka Rasulullah s.a.w pun sampai di rumah Alqomah sambil berkata; "Segeralah mandi dan kafankan", lalu disembahyangkan oleh Nabi s.a.w. dan sesudah dikuburkan maka berkata Nabi s.a.w. sambil berdiri dekat kubur; "Hai sahabat Muhajirin dan Anshar, barang siapa yang mengutamakan isterinya daripada ibunya maka ia adalah orang yang dilaknat oleh Allah s.w.t, dan tidak diterimanya daripadanya ibadat fardhu dan sunatnya.

Untuk yang masih punya BUNDA

Pernahkah kita duduk dan mendengarnya bercerita tentang kisahnya hari ini? Bagaimana repotnya membuat menu makanan hari ini, atau sibuknya mengurus adik kita yang balita, atau sedihnya karena mendapat jatah belanja yang dikurangi, atau kisah lainnya.

Tidak ada bahasa lain yang ia gunakan selain bahasa cinta. Meski ia tidak tahu bagaimana kisah cinta para pahlawan badar, atau pahlawan ahzab, namun ia tahu arti pengorbanan. Pernahkah kita tatap wajah bunda saat tidur? Guratan kelelahan tampak jelas di wajahnya, tapi tak sekali pun kita dapati bibirnya letih tuk tersenyum.

Hari demi hari ia lalui bersama kita dengan setumpuk harap. Meski mungkin raganya tidak bersama kita.

Kisah apa yang kita ceritakan padanya hari ini? Layakkah kita menceritakan kisah sedih, padahal segudang nikmat kita peroleh? Apakah artinya kesedihan, padahal kita mendapat nikmat yang banyak untuk diceritakan? Kenapa kita harus menceritakan tentang payahnya manajemen manusia, atau menurunnya kualitas dan kuantitas pahlawan, atau melempemnya daya juang….apapun itu bahasa kita? Padahal kita bisa bercerita banyak tentang hikmah keikhlasan atau buah kesabaran atau nikmat ilmu pengetahuan yang membuatnya yakin bahwa anaknya telah tumbuh dewasa.

"Sembahlah Alloh dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak…" (An nisa: 36)

"Katakanlah, 'Mari kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapak…." (Al An'am : 151)

”Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya…….." (Al Isro: 23)

"Seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW untuk berjihad maka beliau bertanya "Apakah kedua orang tuamu masih hidup?" orang itu menjawab "Ya". Beliau bersabda " Dalam berbakti kepada keduanyalah hendaknya kamu berjihad" (Bukhori dan Muslim)

Semoga kita tidak pernah lupa untuk selalu mengecup tangannya di awal hari dan meminta do'a sambil berkata "Bunda, ananda minta izin pergi berjihad". Tunggulah sebentar, jika ia mengangguk tanda setuju maka berangkatlah. Jika tidak maka diamlah di tempat, kecuali sangat mendesak. Jika mengangguk tapi kau dapati wajahnya tidak setuju dan kau tahu ia begitu mengharapkan engkau tinggal, maka diamlah di tempat kecuali sangat mendesak…. "Dan berbakti kepada keduanyalah hendaknya kamu berjihad"….

Apakah karena ia tak mengenal semboyan para pejuang, lantas kita tak membutuhkan nasehatnya untuk menciptakan atau meneruskan perjuangan? Apakah karena zaman ini adalah zaman informasi sehingga kita tak butuh kebijakan orang-orang zaman "retro"? Bukankan sejarah itu di putar, seperti berputarnya kehidupan ini? Apa salah kalau kita meminta sarannya tentang manajemen konsentrasi dalam kuliah atau memotivasi manusia untuk berbuat baik atau memperbaiki kinerja kita dan organisasi? Sederhana bukan, hanya sebentar mengisi jadwal harian kita diantara agenda-agenda super penting lainnya, bercengkrama dengannya di awal dan di akhir hari. Sadarlah, kita sedang membangun sebuah rumah mungil di surga bersamanya…insya Alloh.

Ada atau tidak adanya pahala berbakti, mencintai dan mentaatinya dalam kebajikan adalah haq. Wajib bagi kita dan hak baginya. Karena kita adalah hamba Alloh, bukan hamba pahala.

"Suatu ketika aku tidur, bermimpi sedang berada di surga. Lantas aku mendengar suara seseorang yang membaca Al-Qur'an. Aku pun bertanya, 'Siapakah ini?' Mereka menjawab, 'Ini Haritsah bin Nu'man. Lantas Rasulullah SAW bersabda kepada Aisyah, 'Begitulah berbakti itu, begitulah berbakti itu.' Haritsah adalah seorang yang sangat berbakti kepada ibunya.

Pernahkah kita mendengar munajatnya di malam hari? Memohon keselamatan dan ketegaran kita dalam menapaki jalan kebenaran. Air mata meng-amin-kan doanya. Jika di kala malam, kita tidak mendapati ia bersujud di sejadahnya, maukah kita membangunkannya dan dengan lembut berujar, "Bunda, rahmat Alloh turun di waktu malam". Karena ku yakin engkau selalu terjaga di saat rahmat itu hadir, sahabat.

Di usianya yang lanjut, ketika penyakit mulai berdatangan, ia tak mampu lagi berpikir berat. Berbagi beban dengan sang ayah, atau ia pendam sendiri karena sang ayah tiada. Mungkinkah kita sanggup membasuh laranya, sedangkan cerita kita selalu sama, kekalahan? Insya Alloh, kan kita ganti cerita kita menjadi cerita tentang kemenangan.

"Sungguh nista, sungguh nista, sungguh nista!" Ditanyakanlah, "Siapakah, Wahai Rasululloh?" Beliau bersabda, "Siapa yang menjumpai kedua orangtuanya dalam usia lanjut baik salah satu atau kedua-duanya, namun ia tidak masuk surga"


Di hari ketika harus pergi…
Selamat Jalan Mama......
Semoga kelak kita kan menikmati rumah mungil itu di surga…!

27 April 2006
==============================================================================
di ambil dari :
Dika Amelia Ifani

Senin, Mei 08, 2006

Lalai

Hari ini tepat 2 minggu aku menjadi anak piatu. Perlu waktu dua minggu bagiku untuk menyadari statusku yang baru ini…Bukan status yang membanggakan…bahkan kerap menimbulkan belas kasihan orang ketika melihatku. Anak piatu…berarti aku tidak beribu lagi, itu status baru yang harus kusandang. Status yang menyadarkanku…bahwa semua makhluk pasti akan mati, setiap makhluk akan kembali kepada Sang Pencipta. Teringat aku ketika prosesi pemakaman, Seseorang membacakan do’a untuk jenazah, tetapi kata-kata yang kutangkap justru suatu tohokan-tohokan yang menusuk dadaku.

“Amalan apa yang akan ditanya malaikat kubur?”

“Sholat adalah amal utama yang akan ditanya oleh malaikat penjaga kubur”

“Dan Insyaallah almarhum sudah mempunyai bekal cukup untuk di alam nanti”

“Almarhum juga mempunyai bekal amal yang tak terputus yaitu putra-putri yang sholeh dan sholehah”

……………………………………………………………………………………………

Itulah sebagian kecil dari kata-kata yang membuatku berpikir, apabila aku yang menjadi jenazah, apakah benar bahwa aku sudah benar-benar mempunyai amalan yang cukup untuk bekal di alam barzah dan akhirat?

Sedikit banyak ini mengingatkanku kembali pada kematian yang pasti akan terjadi pada semua yang hidup. Mengingatkanku kembali kepada amalan-amalanku yang terus terang saja masih sangat ‘cekak’. Segala ingatan-ingatanku itu membuatku tertunduk malu…bukan pada orang-orang disekitarku..bukan pula kepada sesama peziarah…tetapi malu kepada Allah.

Kata-kata selanjutnya membuatku semakin bertambah malu….

Apakah benar bahwa aku ini termasuk kategori putra/putri yang sholeh/sholehah? Apakah benar selama ini aku selalu mendoakan kedua orangtuaku?

Apakah benar selama ini aku sudah berbakti kepada keduanya?

Kenapa aku tidak bisa menjawab dengan penuh percaya diri, menjawab dengan kepala tertengadah dan bukannya tertunduk malu, menjawab “IYA”. Kenapa sulit sekali melakukannya????

Sungguh memalukan sekali, karena selama ini aku berkecimpung di aktivitas dakwah. Aku yang selama ini berusaha menyeru umat tentang kebenaran (eh..ga sehebat itu sih… tapi kalo ga salah itukan pengertian harfiah dari dakwah…), tapi aku lupa pada keluargaku, aku lupa mendoakan kedua orangtuaku, aku lupa berbakti pada kedua orangtuaku

Dan haruskah sebuah kematian yang menyadarkan kelalaianku? Tapi kalo ini sebuah jalan menuju kebaikan, aku terima. Semoga ini sebuah momentum untuk melakukan perubahan bagiku. Sesungguhnya tidak ada manusia yang terlepas dari salah dan lalai, bahkan rasulullah sekalipun.

Wahai saudaraku, apakah engkau adalah ‘AKU’?

Jika bukan, maka jadikan kisah ini sebuah kisah pengingat bagi kita semua.

Apabila engkau adalah ‘AKU’, maka marilah kita sama-sama berubah, sama-sama menuju diri kita yang lebih baik. Sesungguhnya tidak ada kata terlambat untuk berubah.