Selasa, April 18, 2006

Sebuah Cerita tentang MEMILIKI

Tentang Memiliki
‘Kita tidak akan merasa memiliki sebelum kehilangan’

Tentunya kata-kata di atas sudah tidak asing lagi bagi kita. Kata-kata tersebut merepresentasikan sifat manusia yang kurang bersyukur, selalu merasa kekurangan, melihat bahwa orang lain selalu mendapat ‘lebih’.

Wahai saudaraku, mari kita berhenti sejenak dan menengok kembali perjalanan kita. Apakah kita sudah bersyukur?

Apa yang kita miliki hingga patut disyukuri? Banyak tentunya.

Iman dan Islam. Jawaban standar aktivis dakwah.

Kita punya nyawa, itu patut disyukuri tentunya. Kita diberi kesehatan, kita punya orangtua, kita punya anggota badan lengkap, kita bisa bicara, mendengar dan melihat, kita punya uang, kita bisa kuliah, dan masih banyak lagi ‘bisa-bisa’ dan ‘punya-punya’ lainnya.

Tapi apakah kita sadar bahwa kita ‘bisa’ dan kita ‘punya’ ?

Wahai saudaraku, inilah kisahku…Tentang Memiliki….

Aku memiliki orangtua lengkap, bagiku itu biasa. Toh, anak-anak lain juga punya ayah-ibu.

Aku memiliki keluarga bahagia, ini juga biasa. Banyak oranglain yang memiliki keluarga baha
gia.
Aku memiliki anggota tubuh lengkap, aku bisa bicara, aku bisa mendengar dan melihat, aku bisa berjalan atau berlari. Tapi menurutku itu bukan hal yang istimewa.

Aku memiliki teman, aku memiliki sahabat, aku memiliki saudara. Ini juga bukan hal yang istimewa kan?

Aku bisa berpikir, aku bisa sekolah dan kuliah. Aku bisa makan 3 kali sehari. Menurutku ini juga tidak termasuk kemewahan. Walaupun aku sadar bahwa masih banyak orang-orang di luar sana yang tidak mampu sekolah, bahkan tidak mampu makan tiga kali sehari.

Semua yang aku miliki dan aku ‘bisa’ adalah hal memang sepantasnya aku dapat, bukan sesuatu yang istimewa. Hidupku pun berjalan dengan penuh kewajaran.

Hingga suatu hari kenormalan hidupku tercerabut. Sesuatu yang aku miliki mulai diambil dan pergi. Pertama kali aku kehilangan dompet…kedua kali juga dompet. Tapi belum cukup membuatku bersyukur atas apa yang aku miliki. Kurang bersedekah, itu yang terlintas dalam pikiranku. Bahkan ketika HP-ku hilang pun aku tidak terlalu merasa kehilangan. Lagi-lagi mungkin aku kurang bersedekah.

Teman-temanku mulai menjauh. Yah, mungkin kita sama-sama sibuk. Memang beraktivitas di dunia dakwah cukup menyita waktuku, pikirku waktu itu. Pokoknya semua masih bisa ditolerir-lah, semua masih dalam batas wajar.

Hingga…aku kehilangan ibuku. Separuh jiwaku menjadi kosong. Ini pasti bukan karena aku kurang bersedekah kan?

Bahwa semua yang hidup pasti mati, bahwa semua manusia akan kembali kepada Sang Pencipta, sudah kudapat konsep itu. Tapi aku ga menyangka bahwa kematian akan terjadi begitu dekat denganku.

Begitu tiba-tiba, hingga aku belum mempersiapkan diri untuk rasa kehilangan itu. Tapi siapa sih yang tahu kapan datangnya kematian?

…Aku kan baru pulang kampung 4 bulan yang lalu. Aku kan jarang telepon. Aku kan tidak pernah bercakap-cakap dengan beliau. Aku kan sibuk. Aku cuma sempat pulang seminggu selama 3 bulan liburan. Tapi ini kan untuk kepentingan dakwah…

Wahai saudaraku, jangan pernah mengalami hal yang sama seperti-ku. Semua penyesalan dan pembenaran bercampur baur dalam pikiranku.

Setiap liburan pun berarti daurah, kepanitiaan, dan yang pasti berarti tidak pulang.

Lupa aku bahwa orang tua pun berhak atas diriku ini. Lupa aku bahwa diriku ini bukan milikku.
Lalai aku akan kewajiban pada orang tua.

Itulah aku, wahai saudaraku, seperti banyak manusia lainnya, kurang mensyukuri apa yang dimiliki, lalai akan kewajiban pada apa yang kumiliki.

Sempatku berhenti sejenak tuk merenungkan keberadaanku, dengan semua yang aku miliki. Mengucap syukur kepada Sang Maha Pemberi. Ya Allah…semoga aku menjadi orang yang lebih baik, dan lebih menghargai…

Senin, April 03, 2006

Cinta adalah sebuah gagasan

Dapat dari Blognya Nuyi...Boleh juga isinya..
===============================================

Pada sebagian tabiatnya yang paling murni, cinta
menyerupai air. Air adalah sumber kehidupan.
Semua mahlukhidup tercipta dari air. Air
mempunyai mata dan selalu bergerak dari hulu ke
hilir. Ia mengalir tak henti-henti. Ia bergerak tak
selesai-selesai. Setiap sungai dan kali mengalir
dan bergerak pada jalur-jalurnya. Tapi mereka
semua kemudian bertemu pada satu titik, pada
sebuah muara besar. Mata air. Mengalir. Bergerak.
Tak henti-henti. Tak lelah. Tak selesai-selesai.
Menuju muara. Muara besar. Hampir tak terbatas.
Jauh sejauh mata memandang. Jauh seperti
memandang. Jauh seperti menyentuh kaki langit.
Itu sebabnya bumi kita diisi lebih banyak oleh air.
Karena Tuhan ingin menyemai kehidupan disini.

Diantara mata air yang kecil kepada muara yang
besar ada aliran. Ada gerak. Ada riak. Ada
gelombang. Ada gemuruh. Ada debur. Ada
percikan. Ada gelora. Ada gairah. Ada dinamika.
Selalu begitu. Senantiasa seperti itu. Tak ada
penghentian. Tak ada stagnasi. Tak ada diam. Ia
membludak jika ditahan. Ia membuncah jika
dibendung. Ia membanjir pada puncak
dinamikanya. Tapi ia selalu membersihkan semua
kotoran yang dilaluinya. Seperti hujan mengusir
mendung yang mengotori biru langit.

Begitulah cinta. Ia adalah sebuah gagasan yang
murni tentang kehidupan yang lapang. Mata airnya
adalah niat baik dari hati murni. Muara adalah
kehidupan yang lebih baik. Alirannya adalah
gerakan amal dan kerja memberi yang tak henti-
henti. Cinta adalah gagasan tentang penciptaan
kehidupan setelah kehidupan tercipta. Maka kata
Muhammad Iqbal, “Engkau menciptakan hutan
belantara. Dan aku menciptakan taman”.

Begitu ada niat baik dan ada muara kehidupan
yang lapang yang hendak kita ciptakan, maka
cinta ciptakan, maka cinta menjadi nyata saat ia
mengalir. Saat ia bergerak. Aliran dan gerakan
itulah yang melahirkan debur, gemuruh, riak dan
ombak. Gairah dan dinamika yan membuatnya
ada, nyata dan hidup.

Seperti air yang berhenti mengalir, kehidupan juga
akan berhenti bergerak jika ia tidak mengarah
pada sebuah muara besar. Air yang tergenang
selalu mengalami pembusukan. Begitu juga
kehidupan yang tidak bergerak kehilangan
dinamika dan serta merta menjadi rusak. Bukan.
Bukan Cuma rusak. Tapi bahkan merusak
lingkungan disekitarnya.

Begitu juga cinta ketika ia hanya sebuah
perasaan. Bukan sebuah gagasan. Sebab
perasaan adalah bagian dari aliran. Bukan aliran
itu sendiri. Bukan muara. Begitu juga cinta ketika
ia hanya sebuah ruh. Bukan sebuah gagasan.
Sebab ruh adalah mata air. Bukan muara. Begitu
juga cinta ketika ia hanya sebuah raga. Bukan
sebuah gagasan. Apalagi raga; ia hanya riak,
hanya gelombang, hanya debur, hanya gemuruh.
Ia ada karena aliran. Ada gerakan. Perasaanlah
yang memberinya rasa dan nuansa; keindahan.
Tapi keindahan ini tak pernah berdiri sendiri.

Gagasan. Gagasanlah yang mengubah cinta
menjadi sebuah keseluruhan, sesuatu yang utuh,
semacam kumpulan kata-kata yang membentuk
kalimat dan melahirkan makna. Yaitu gagasan
tentang bagaimana menciptakan kehidupan yang
lebih baik, tentang berapa besar energi yang kita
perlukan untuk menyelesaikannya, tentang rincian
tindakan yang harus dilakukan dari awal hingga
akhir. Dalam gagasan itu jiwa, raga dan ruh
menyatu; membuncahkan mata air kebajikan,
mengaliri setiap sudut kehidupan menuju muara
kebahagiaan yang lapang. Disini jiwa, raga dan ruh
menuaikan fungsi-fungsinya. Dan pada penuaian
fungsi itu ada pesona yang memercikan
keindahan.